Selasa, 03 Oktober 2017

Hubungan Gandong Antara Negeri Tamilouw, Hutumuri dan SiriSori (MOSILOU)

         Di daerah Kaimana Pulau Irian terdapat 2 suku yaitu Suku Kapauku dan Suku Manggarengga kepala Suku Manggarengga bernama Lokonda biasanya sebagai seorang kepala suku harusnya mempunyai istri lebih dari 2 orang atau 6 orang. karena itu Lukuna/Lokonda ingin merantau untuk mencari seorang istri lagi ia menggunakan sebuah perahu dan mulai mengarungi lautan bebas ia tiba di pantai Buria (Seram Utara). sementara ia beristirahat ia disergap dan ditangkap dan di bawa ke Upu Latu Ama Uar atau SopoLatu Buria disana Lukuna/Lokonda di jaga oleh SopoLatu Buria, saat itu terjadilah perang antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain (perang hongi) dikesempatan itu Lukuna/Lokonda menunjukkan kesaktiannya dan karena keperkasaanya ia sangat terkenal dalam pasukan Sopolopo Buria karena itu Lukuna/Lokonda diperkenankan kawin dengan gadis dari Sopolopo Buria. nama gadisi itu adalah Okiwanda/Okawanda setelah mas kawin dipenuhi maka upacara perkawinan di laksanakan usai perkawinan nama keduanya diganti, Lokonda/Lukuna diganti menjadi Abuding Wasari dan Okiwanda/Okwanda diganti menjadi Lounsa Nsalou. Abuding Wasari digelar Kapitano kemudian diangkat menjadi Amalesi Supuhalatain dari perkawinan mereka di karuniai 5 orang anak:
1. Timanole
2. Simanole
3. Nyai Intan
4. Nyai Mas
5. Silaloi
       Setelah anak-anak ini beranjak dewasa Hotebonggoe (Seram Timur) di serbu bangsa Portugis. Timanole, Simanole, dan Silaloi dipersiapkan untuk membantu pasukan Siwalima. setelah ketiganya diberkati oleh bapanya dan menerima nasehat dari ibunya maka ketiganya berangkat dan bergabung dengan pasukan Siwalima dan masuk dalam medan pertempuran, lawan menyerah dan kalah ketiga bersaudara ini tidak kembali ke gunung batu Hatumeten. tetapi ketiganya berlayar menyusuri pantai Seram selatan akhirnya mereka tiba di Hatumari Timanole naik ke darat dan menuju ke negeri Tamilouw sedangkan kedua adiknya  pamit untuk meneruskan perjalanan mereka. tetapi mereka di tahan oleh Timanole ketiga bersaudara ini menuju ke negeri Tamilouw dan tinggal di sana. selang beberapa lama setelah Timanole diangkat menjadi Upu Latu di negeri Tamilouw, maka kedua adiknya Simanole dan Silaloi mohon diri kepada kakaknya Timanole untuk meneruskan perjalananya sebelum kedua saudara ini berangkat Timanole mengajak kedua adiknya ke Hatumari tempat di mana mereka mulai tiba. di Hatumari Timanole, Simanole, Silaloi mengikrarkan janji dan sumpah:
 kami mengaku mempunyai satu nama satu istana, Istana Nunusaku.
 kami mengaku kami mempunyai satu perkasa satu berkat, berkat Nunusaku
 kami mengaku mempunyai satu Ina (ibu) dan satu Ama (bapak). satu pancaran darah, darah  orang perkasa
 kami berjanji jangan ada dari pada keturunan kami yang saling mengawini
 kami berjanji jangan ada dari pada kami menggagahi pada yang lain
 kami berjanji harus saling membantu pada yang lain dalam susah maupun senang
 kami berjanji yang satu punya kami sama-sama mempunyai
 kami berjanji persaudaraan kami haru tetap kuat sampai batu ini lenyap
 kami berjanji barangsiapa yang melanggar perjanjian ini  maka kutuk dan laknat akan berlaku  padanya sampai kepada pupu yang terakhir.
 sesudah perjanjian itu diucapkan bersama Timanole memberkati perjanjian itu. dan mereka Pasahuro, nyanyianya.
                Alano o Henatura Upu Latu o Barakat  Hei Amalesi Nitua Supuhalatain
                Hei Okiwanda Lounsa Nsalou Barakato Amio Sopo Sopo Barakatoo
suara pasaharo menghilang, Timanole mengangkat mangkuk yang berisi darah dari pada jari kelingking ketiga bersaudara itu yang diikat dengan tulang daun seribu kemudian dilukai dan berkata, mangkuk ini adalah pengakuan ibu, darah ini adalah darah bapa yang menyaksikan perjanjian kami  sekali untuk selamanya
               Sei Hale Hatu Hatu Lisa Pei ( Siapa bale batu, Batu gepe dia)
               Sei Lesi Sou Sou Lisa Ei      ( Siapa langgar sumpah, Sumpah bunuh dia)
dalam suasana haru isak tangis ketiganya berpelukan darah dalam mangkuk itu diminum secara berurutan. mulai dari Timanole, Simanole, Silaloi yang menyaksikan adalah Kapua Upu Ila Kahuresi (ALLAH yang mereka sembah). sebagai tanda untuk kenangkan peristiwa terjadi di Hatumari, Timanole  menanam Pohon Beringin di atas batu Hatumari, Simanole menanam Pohon Sagu berbatang keras, Silaloi menanam Pohon Sagu berbatang duri. tali persaudaraan ini merupakan hubungan kekerabatan orang gandong yang disapa dengan sebutan bongso-bongso antara keturunan Timanole (Tamilouw), Simanole (Hutumuri), Silaloi (SiriSori) maka secara Teon Negeri:
               Tamilouw (Mositoa Amalatu Sala Uli)
               Hutumuri  (Siwa Samasuru Amalatu Suluwaming)
               SiriSori     (Louhata Amalatu Sigumala Pailemahu)


Kamis, 23 Februari 2017

SIRI SORI AMALATU


                                           

                                               
 
                                                     
Baileo Negeri Siri Sori Amalatu

              
Mengenal sejarah Negeri Siri-Sori (sekarang, Sori Sori Islam – Siri Sori Kristen) yang dulu adalah masyarakat Louhata, tidak lepas dari sejarah pulau Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Periode ini dimulai dari abad 15, yang menunjukkan zaman pengembaraan terjadi gerakan perpindahan para pendiri masyarakat Louhata sejak dari Negeri Rombati di Tanah Onin di pulau Irian (bagian barat), melalui tanah Iha, terus di Amahai di Pulau Seram untuk kemudian ke Tanah Louhata di Siri Sori kini. Periode pengembaraan ini penting untuk diketahui sejarahnya karena tempat pendaratan awal kaum pengembara di Pulau Tanah Iha di pantai Soa Honimua dan menetap disitu.
               Pada abad ke 17 ketika penjajah Belanda menguasai Tanah Iha dan mulai mengadakan perubahan-perubahan di bidang pemerintahan. Penguasa Belanda merubah dari pulau tanah Iha menjadi Pulau Honimua dengan ibu kota Honimua oleh penjajah Belanda menjadi pusat pemerintahan Louhata. Di kota Honimua terdapat sumber air bersih yang digunakan untuk minum, untuk menjamin kebersihan air itu maka Upu Latu mengeluarkan larangan untuk mandi yang oleh masyarakat Louhata kemudian di sebut tempat itu Siri-Sori yang berarti di larang mandi kemudian kata Siri Sori digunakan untuk menyebutkan nama Wilayah tersebut yang merupakan pusat pemerintahan Louhata di Kota Honimua.
               Pada tahun 1692, ketika penguasa Belanda memperluas Wilayah kekuasaanya dan pemerintahannya, maka Belanda memindahkan pusat pemerintahannya dari tanah Louhata (kota Honimua) ke Kota Saparua menjadi pusat pemerintahan Belanda. Sejak saat itu tanah Louhata adalah Negeri Siri-Sori menjadi pusat pemerintahan Louhata yang diangkat oleh penguasa Belanda.
               Bagaimana sejarah pemerintahan di Negeri Siri Sori, sejak tahun 1767-1838 sejarah pemisahan masyarakat Louhata menjadi dua bagian Siri Sori Islam dan Siri Sori Sarani (Kristen) atau Siri Sori Ama Patih dan Siri Sori Ama Latu. Bagaimana latar belakang hidup dari masyarakat Louhata dan bagaimana sistem pemerintahan mula-mula dari masyarakat Louhata, akan dikaji dalam tulisan berikut ini.

 ·   Sejarah Pengembaraan dari Tanah Onin ke Pulau Tanah Iha (ke Pantai Soa Honimua)

         Pada akhir abad ke 15, di pulau tanah Iha khususnya di pesisir pantai soa honimua sudah ada orang-orang pengembara dari pulau seram mereka hidup selalu berpindah-pindah tempat tinggal. secara berkelompok Pata Siwa pimpinanya Kapitano Liklikwatil dan kelompok Pata Lima dipimpin oleh Kapitano Salatalohy. tempat tinggal mereka disebut Paillo Somoikillo Hailo dan Somoikillo Haillo, di Negeri Rombati, suatu tempat yang terletak di Tanah Onin di daerah pulau Irian. Letak Negeri Rombati tidak jauh dari Fak-Fak. Rakyat Tanah Onin, khususnya yang di Negeri Rombati, waktu itu jauh lebih maju bila dibandingkan dengan tempat-tempat lain di daratan Irian pada waktu itu. Orang-orang Rombati telah mengenal dan mengadakan perdagangan antar pulau maupun dengan pedagang-pedagang yang datang dari Tanah jauh. 
         Walaupun orang Rombati telah maju dari sisi perdagangan antar pulau tapi pengembaraan Raja Rombati ke tanah Iha bukan karena perdagangan, tetapi karena masalah perebutan kekuasaan antara bersaudara. Awal kisah pengembaraan dari tanah Onin dituturkan melalui cerita tentang seorang Raja Onin yang mempunyai 3 anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Secara alamiah, karena Raja Onin merasa dirinya sudah lanjut usia , maka atas beberapa  pertimbangan tertentu, Raja lalu mengambil keputusan untuk menyerahkan jabatannya selaku Raja kepada anak yang bernama Pusan.
         Keputusan Raja Onin, mendapat tantangan dari saudara-saudara kandung Raja yang lain. Sesuai adat-istiadat di Tanah Onin, 5 saudara Raja merasa lebih berhak dari Pusan anak laki-laki Raja Onin. Juga ke 4 saudara perempuan Raja Onin, menganggap Raja Onin curang dalam pengambilan keputusan. Berbagai Kritikan dari saudara-saudara Raja tidak mendapat perhatian Raja. Raja Onin sendiri tidak lama kemudian wafat dan Pusan menjadi Raja mengganti Ayahnya dalam usia yang relative amat muda.
        Semasa Pusan memerintah, suatu saat terjadi peristiwa yang menimpa adik permpuannya yang bungsu. Adik perempuannya ini mengidap penyakit yang menyebabkan perubahan pada bentuk badannya, hingga tampak seperti seorang perempuan yang sedang hamil. Perubahan bentuk badan yang demikian dari saudara perempuan Raja Pusan menimbulkan amarah dari ke 2 adik laki-laki Pusan, bukan saja terhadap adik perempuan mereka tapi juga terhadap Pusan. Menurut prasangka mereka Pusanlah yang menghamilkan adik perempuannya sendiri.
       Menurut adat-istiadat di tanah Onin, menghamilkan saudara perempuan sendiri merupakan perbuatan hara8m. Persoalan ini kemudian menimbulkan ketegangan di antara saudara-saudara dari ayah Pusan, yang dulunya tidak setuju Pusan menjadi Raja di Onin. Ketegangan ini memuncak, dimana kedua saudara Pusan mengadakan siasat dan mufakat bersama dengan seisi negeri Rombati untuk membunuh Pusan dan adik perempuan mereka dengan cara menenggelamkan keduanya ke dalam laut sesuai dengan adat-istiadat di tanah Onin. Namun rencana pembunuhan itu diketahui oleh Hahosan, yaitu kepala urusan rumah tangga dari raja dan hal itu diberitahukan kepada Pusan.
        Bagi Hahosan tidak ada pilihan pilihan lain selain Raja Pusan dan adik perempuannya harus melarikan diri dari tanah Onin. Sebab selain seisi negeri Rombati, semua anggota pemerintah negeri sudah memihak kepada kedua saudara Pusan, kecuali Lakesa, penasihat raja dan pemerintah. Atas anjuran Hahosan berangkat, kemudan diadakan persiapan seperlunya oleh Lakesa dan dibantu oleh Hahosan berangkat menuju pantai. Pusan dipanggil oleh adik perempuannya “Masbait Pusan”, sedangkan Pusan memanggil adik perempuannya dengan nama “Ikuollo”.
         Di pantai tanah Onin terdapat sebuah perahu di bawah pohon Salemuli dan dengan perahu itu Masbait Pusan, Ikuollo,Hahosan dan Lakesa melarikan diri dari tanah Onin, tanpa diketaui oleh siapapun di Negeri Rombati dan tempat tujuan mereka adalah pulau Tanah Iha, karena mereka sering bertemu dengan orang-orang dari Pulau Tanah Iha yang datang ke Negeri Rombati untuk berdagang.
         Dalam pengembaraan pelayaran itu direncanakan mereka terlebih dahulu singgah di pantai Kian dan pantai Ua Malessy di Pulau Seram. Namun pada tahap pelayaran beriktunya dengan tujuan langsung ke Pulau Tanah Iha, mereka kehilangan arah pelayaran dan terdampar di Pulau Banda.

              Di pantai pulau Banda mereka bertemu dengan seorang anak laki-laki yang bernama Beyala. Masbait Pusan bertanya kepadanya, di mana letak pulau Tanah Iha dan Beyala menjawab disebelah matahari masuk sambil menunjuk ke Arah Barat. Kemudian mereka mengajak Beyala untuk ikut dalam pelayaran sebagai penunjuk arah. Namun tak disangka mereka terdampar lagi di pulau Seram di pantai Huamual, sehingga oleh Masbait Pusan di beri gelar “Sopaheluwakan" yang berarti petunjuk arah yang salah.. di pantai Huamual ini mereka bertemu lagi dengan seorang anak laki-laki yang bernama Nuolloh. Masbait Pusan pun bertanya kepadanya di mana letaknya pulau Tanah Iha dan ia menjawab di sebelah matahari naik sambil menunjuk ke arah Timur. Atas petunjuk dari Nuolloh, mereka bersama berangkat dan tiba dengan selamat di Pulau Tanah Iha. Masbait Pusan pun memberi gelar kepada Nuolloh yakni Sopamena soa Honimua yang karena ia sebagai penunjuk arah yang tepat. Di pulau Tanah Iha mereka mendarat di pantai Soa Honimua yang bernama Tehisolo. Tepat pada batu karang yang bernama Hatu Waliyowony. Kemudian mereka menaikkan perahu ke darat dan mereka membangun poporisa dan menyelidiki keadaan tempat yang belum pernah mereka kenal ini.
           Adapun penduduk pantai Soa Honimua yang melihat Masbait Pusan adalah Kelompok Pata Lima, dibawa pimpinan Salatalohy. Ketika ia melihat Masbait Pusan, ia sangat terkejut karena takut melihat wajah Masbait Pusan sosok yang tinggi dan besar ruas badannya, bila dibandingkan dengan orang-orang di tempat itu. Dalam waktu yang singkat tersiarlah berita tentang apa yang dilihat oleh Salatalohy, sehingga semua orang di Soa Honimua melarikan diri.
         Melihat keadaan yang demikian maka saudara perempuan Masbait Pusan yakni “Ikuollo” menganjurkan mengadakan Louhata  yang dimaksudkan dengan Louhata adalah mengumpulkan rakyat atau berkumpul untuk mendengar titah atau penjelasan Raja. Setelah dengan susah payah Masbait Pusan, Lakesa,Hahosan,Beyala dan Nuolloh mengumpulkan orang-orang pengembara dari kelompok   Pata Siwa dan Pata Lima dan memberikan penjelasan tentang maksud kedatangannya, sehingga muncul saling pengertian dan hubungan persahabatan di antara mereka dengan Masbait Pusan serta rombongannya.
     Hubungan persahabatan Masbait Pusan dengan kelompok Pata Siwa dan Pata Lima semakin erat dan Masbait Pusan berhasil menyadarkan, Kelompok Pata Siwa dan Kelompok Pata Lima, bahwa orang-orang yang mendiami Soa Honimua adalah senasib dalam mempertahankan Hidup. Penjelasan Masbait Pusan disuatu sisi dengan sendirinya menghentikan permusuhan dari Kelompok Pata Siwa dan Pata Lima, dan membangun hubungan yang erat lagi diantara dua Kelompok ini.  Pada sisi yang lain kewibawaan Masbait Pusan menjadi pemimpin mereka di Soa Honimua.  Dalam kehidupan bermasyarakat, mereka tidak membedakan asal-usul, karena sering diadakan Louhata dan melalui kebiasaan berkumpul inilah, maka masyarakat yang mendiami Soa Honimua disebut  Louhata atau Masyarakat Louhata.

·         Terbentuk Pemerintahan Latu di Henalatu

Perpindahan Masyarakat Louhata Dari Pantai Soa Honimua Ke Liamatany – Amailallo – Henalatu – Elhau.
       

Masyarakat Louhata di pantai Soa Honimua, dibawah pimpinan Masbait Pusan masih hidup dalam kesederhanaan. Masyarakat Louhata hidup dari hasil hutan dan hasil kebun dengan cara kerja bersama, di mana ada masyarakat yang harus ke laut dan ada yang harus ke hutan untuk mengelolah atau mengambil hasil hutan atau hasil kebun. Setiap hasil yang diperoleh dibagi secara merata sesuai jumlah jiwa disetiap poporisa.
       Adapun hutan-hutan yang memberi hasil bagi masyarakat Louhata pada waktu itu adalah hutan Amatuali. hutan Salawano dan hutan Liamatany. Hutan-hutan ini juga digunakan selaku tempat persembunyian atau tempat pelarian mereka, jika mereka tidak sanggup memberi perlawanan terhadap musuh yang menyerang dari laut. Dihutan-hutan ini masyarakat Louhata di pantai Soa Honimua masyarakat Louhata sering tinggal berhari-hari tergantung dari beberapa lama musuh menduduki kediamannya.
       Musuh besar masyarakat Louhata di pantai Soa Honimua adalah orang-oang Alifuru dari pulau seram dalam jumlah besar,  sering datang dengan perahu menyerang Soa Honimua, menghancurkan poporisa-poporisa mereka serta mengambil persiapan hidup sehari-hari. Untuk menghindari serangan orang-orang Alifuru, atas perintah Masbait Pusan, masyarakat Louhata pindah terlebih dulu ke Liamatany, namun karena lahan Liamatany tidak cukup luas untuk dijadikan pemukiman, maka Masbait Pusan memerintahkan masyarakat Louhata untuk pindah ke gunung Amailallo, dengan syarat-syarat:
1.     Lahan di tempat ini cukup dijadikan pemukiman
2.    Musuh yang menyerang dari arah laut , sudah dapat terlihat, sekalipun jauh, sehingga mempunyai cukup waktu untuk mengadakan persiapan-persiapan sebelum musuh menyerang
3.   Jalan ke gunung Amailallo ini, bagi orang yang belum mengetahuinya berbelok-belok, sehingga sukar pula bagi musuh untuk mencapai tempat ini
4.     Tempat ini memenuhi syarat-syarat pertahanan terhadap musuh
5.      Mudah untuk memperoleh hasil-hasil hutan bagi hidup sehari-hari
Di gunung Amailallo masyarakat Louhata mulai membangun rumah-rumah dan menetap disana sebagai suatu perkumpulan masyarakat (Louhata).

·         Pengangkatan Masbait Pusan sebagai Latu dan Pemerintahannya

     Pada permulaan abad ke 16 masyarakat Louhata mengangkat Masbait Pusan menjadi Latu (Raja) Diangkatnya Masbait Pusan menjadi Latu, maka untuk pertama kalinya masyarakat Louhata mempunyai Latu, dan tempat itu disebut henalatu yang berarti negeri Raja atau dalam bahasa tanah disebut “Amalatulo”. Sistem pemerintahan masyarakat Louhata di Henalatu pada saat itu masih sederhana. Latu (Raja) Masbait Pusan dibantu oleh Hahosan dan Lakesa yang memegang peran penting dalam pemerintahan Masbait Pusan.
     Setelah Masbait Pusan diangkat sebagai Latu oleh masyarakat barulah Ikuollo kawin dengan Tarihula Pelupessy dari negeri Ouw anak mereka bernama Leipaly, Masbait Pusan kawin dengan Halawa Nataesiwa anak perempuan dari Latu parinusa dari Uli Siwa daerah tetangga Henalatu. Dari perkawinan ini dikaruniai 4 orang anak laki-laki: Poiteli, Lahakela, Mamala, Telisama ( Luku Hatu). Dan 4 orang anak perempuan : Lokai, Soppa, Luwatasa dan Luwasela.
     Anak laki-laki dari Masbait Pusan : Poiteli kawin dengan Sopapali dari Mata rumah Patipeiluhu Lekasapi. Lahakela kawin dengan Halakone dari Mata rumah Titaley. Anak dari Lahakela 2 orang yaitu satunya laki-laki bernama Liesowa dan anak perempuan Peya Itahulonno yang menikah dengan Pattipeilohy dari Ulat. Mamala tidak kawin. Telisama tidak kawin namun mempunyai anak di luar nikah bernama Latupolahulang.
        Anak perempuan Masbait Pusan : Lokay kawin dengan orang dari Ua Matulessy, Soppa kawin dengan Sahetapy dari Tuhaha, Luwatasa kawin dengan Tanlatu dari Taulehu, dan Luwasela kawin dengan Sisirolon Latuhena dari negeri Samet perkawinan ini membawa hubungan persahabatan antara Masyarakat Samet dan Masyarakat Louhata di Henalatu menjadi sangat erat dan kedua masyarakat ini membentuk ikatan yang disebut bongso.
       Latu Masbait Pusan dengan keempat anak laki-lakinya membela rakyat, mereka berjuang untuk memperluas daerah, sehingga daerah yang mereka kuasai sangat luas termasuk Soa Honimua, yakni daerah Waenahia sampai Umekonno. Pada waktu itu sering terjadi rebut merebut dan serang menyerang antara daerah yang satu dengan daerah tetangganya untuk memperluas daerahnya.
        Seluruh daerah yang dikuasai oleh Pemerintah Louhata yakni Masbait Pusan, disebut tanah Louhata. Tanah-tanah ini dibagikan oleh pemerimtah Louhata dan dibagikan kepada masyarakat Louhata setelah Latu (Raja) mendapat bagiannya untuk kebutuhan hidup keluarganya. Setelah Latu Masbait Pusan wafat, maka ia diganti oleh anaknya Poiteli. pada zaman pemerintahan Upu Latu Poiteli tiba Kapitano Silaloi dan Kapitano Simanole dari Hatumeten di Pulau Seram dan tiba di Henalatu. Poiteli memerintah tidak lama karena gugur dalam perang lawan Uli Siwa, dan Poiteli wafat atas penunjukkan Kapitano Silaloi dan Kapitano Simanole, diganti oleh adiknya yang bernama Lahakela. Latu Lahakela juga gugur dalam  perang dan digantikan oleh adiknya yang bernama Mamala. Tetapi pada saat mamala menjadi Latu ia pun gugur dalam perang dan digantikan oleh adiknya yang bernama Telisama (LukuHatu). Telisama sebelum menjadi Latu, ia adalah seorang Kapitan Laut yang keras kepala, sehingga ia disebut Luku Hatu yang berarti keras kepala.
       Pada waktu itu seseorang yang akan menjadi Raja, Pada orang itu diberi gelar                   “ Latu Kesa-Aulia”. Sedangkan kepala urusan Rumah Raja dan Pemerintahan berasal dari keturunan Hahosan yang disebut “ Saimima” artinya Tuan Rumah. Bagi Penasihat Raja serta Pemerintahan berasal dari keturunan Lakesa disebut sebagai “Atihuta”.
      Masbait Pusan dan Keempat anaknya sangat berjasa membangun Henalatu, memperluas daerah kekuasaan, membentuk serta mengembangkan Masyarakat Louhata.                             Untuk selalu mengenang jasa-jasa mereka, maka masyarakat Louhata memberi gelar kepada mereka sebagai Latu Lima. Masyarakat Louhata di Henalatu membangun lima buah patung besar sesuai dengan nama-nama ke lima Latu mereka yaitu : Pusan, Poiteli, Lahakela, Mamala dan Lukuhatu. 

·         PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DAN KRISTEN DI HENALATU

1.       Masuknya Agama Islam

     Di permulaan abad ke 16 pada zaman Pemerintahan Latu Lahakela, banyak orang-orang Ternate yang datang ke Henalatu dengan membawa agama Islam. Orang pertama yang masuk agama islam di Henalatu adalah Latu Lahakela yang sangat patuh pada ajaran Islam, sehingga orang-orang ternate menyebutnya “Latu Kesa-Aulia”, yang berarti Latu adalah orang pertama yang suci.
    Setelah Latu Lahakela gugur dalam peperangan melawan musuh diganti oleh adiknya Mamala. Tetapi pada saat Mamala menjadi Latu, ia pun gugur dalam perang dan diganti oleh adiknya yang bernama Telisama (LukuHatu). Setelah Telisama gugur dalam peperangan, maka anak dari Lahakela yang bernama Liesowa menjadi Latu. Dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Henalatu pada waktu itu, maka seseorang yang akan menjadi Latu (Raja), harus benar-benar mengikuti dan memenuhi persyaratan agama Islam. Kepada sang Latu akan diberi gelar                                      “ Latu Kesa-Aulia”. Jadi kepada Liesowa diberi gelar Latu Kesa-Aulia Liesowa, yang juga wafat dalam usia muda. Begitu juga istrinya, mereka meninggalkan seorang anak laki-laki yang masih bayi bernama Tehupoty.
      Karena Tehupoty belum cukup umurnya untuk memerintah sebagai Latu Kesa-Aulia menggantikan ayahnya, maka Matauseja dimintakan untuk mewakili Tehupoty. Namun Matauseja menolak permintaan itu, sehingga bapak asuh Tehupoty yaitu Pelopessy Pauta diangkat menjadi wakil memenuhi Louhata, sampai Tehupoty memenuhi persyaratan untuk menjadi Latu Kesa-Aulia. Di zaman Pemerintahan Latu Kesa-Aulia Tehupoty, sebagian besar belum beragama. Kelompok Patasiwa masih merupakan kelompok yang besar dibandingkan dengan kelompok Patalima.

2.       Agama Kristen Masuk Ke Henalatu

      Agama Kristen masuk dan berkembang di Henalatu melalui orang-orang Portugis yang datang ke Henalatu pada awal abad ke 16. Portugis datang ke Maluku untuk perdagangan dan penginjilan, ini sasaran mutlak dari pemerintah Portugis. Untuk itu pemerintah Portugis berusaha untuk monopoli perdagangan dan penyebaran Injil. Banyak wilayah di Maluku Portugis jadikan wilayah jajahannya dan setiap tempat yang mereka kuasai mereka jadikan pangkalan kegiatan penginjilan.
      Pada permulaan tahun 1602 Laksamana Portugis Andrea Furtado de Mendoza tiba di Ambon dengan armada besar dan prajurit-prajurit yang banyak untuk memulihkan kembali kekuasaan Portugis yang sudah hampir hilang. Dalam waktu yang sangat singkat Furtado dapat merebut kembali bagian-bagian dari pantai Utara Jazirah Hitu sambil menimbulkan pengrusakan-pengrusakan yang besar. Juga dalam waktu yang singkat Hoamual ditaklukkan termasuk Lisabata selaku daerah pusat kegiatan penginjilan ke berbagai wilayah termasuk ke wilayah Henalatu.
     Pada waktu itu yang memerintah masyarakat Louhata adalah Tomanunuwe yang menggantikan ayahnya Tehupoty, yang pada waktu itu masih bermusuhan dengan          Uli Siwa.  Pada zaman Latu Kesa-Aulia Tomanunuwe memerintah, penganut agama Kristen mulai meningkat 2/5 dari seluruh masyarakat Louhata sebagian lagi beragama Islam, juga masih ada sebagian kecil yang belum beragama.
     Latu Kesa-Aulia Tomanunuwe mempunyai 3 orang anak laki-laki yaitu: Pattiluwa, Pattinaya, Mahubessy. Untuk mengawasi batas-batas petuanan Louhata di bagian Timur, Pemerintah Louhata memindahkan beberapa keluarga dari Henalatu ke Elhau datanglah ke “Elhau”.                         (Elhau artinya “beta kuasa”, nama ini menggambarkan kemenangan terhadap para musuhnya atau terhadap mereka yang sudah lebih dahulu mendiami pulau ini).
     Pada waktu Latu Kesa-Aulia Pattiluwa menjadi Latu menggantikan Ayahnya Tomanunuwe dan terjadi peperangan besar-besaran antara Louhata dengan Uli Siwa. Hal ini menyebabkan Latu Kesa-Aulia Pattiluwa beserta keluarganya dan sebagian besar masyarakatnya dari Henalatu ke Amahai di Pulau Seram atas ijin Pemerintah Amahai. Sedangkan sebagian penduduk Henalatu yang tidak mau pindah dianggap pengkhianat. Ini tidak termasuk mereka yang berada di Elhau. karena  terjadi kekosongan pemerintahan di henalatu Kapitano Silaloi dan Kapitano Simanole ambil alih kekuasaan masyarakat di Henalatu mengangkat Kapitano Silaloi dan Kapitano Simanole sebagai panglima perang. Di pulau Seram-lah Latu Kesa-Aulia Pattiluwa bertemu dengan beberapa orang Belanda dekat Tanjung Tamilaou dan mulai dari saat itulah ia tertarik pada Agama Kristen Protestan.
      Atas usaha Latu Sopacua Kaysupi dari Iha, maka Henalatu berdamai dengan Uli Siwa. Dengan adanya perdamaian tersebut maka Latu Kesa-Aulia Pattiluwa beserta keluarganya dan seluruh masyarakat Louhata kembali lagi ke Henalatu tempat asal mereka. Namun, karena semua rumah berada dalam keadaan rusak total disebabkan peperangan, maka Pemerintah Louhata beserta seluruh rakyat mengambil keputusan untuk tidak lagi mendiami Henalatu. Mereka lalu mencari tempat pemukiman baru dan membangun rumah di situ yakni di  Elhau.
      Pada tahun 1605 Belanda (VOC) sudah mulai berkuasa ke seluruh jazirah Leitimur setelah mengalahkan Portugis dalam peperangan. Juga Belanda memperluas daerah Kekuasaanya sampai ke kepulauan Lease (pulau Haruku, Nusalaut, Saparua) serta beberapa Pulau dan tempat di Pulau Seram.
      Rupanya dalam masa-masa sebelumnya kepulauan Lease lebih dekat hubungannya dengan pantai selatan Pulau Seram dari pada dengan Ambon. Dari Seram juga sejak lama telah terdapat suatu jaringan pelayaran perdagangan tradisional dengan kepulauan Banda dan Pulau-Pulau lain di Maluku Tenggara. Malahan antara Seram Laut terdapat pula Hubungan dengan Pantai Barat Pulau Irian Jaya. Belanda datang ke Maluku khusus untuk perdagangan rempah-rempah dengan menggunakan kekuatan militer mereka yang lazim disebut kompeni sejalan itu Belanda melakukan penyebaran Injil di daerah kekuasaan.    
     
     
     Pada permulaan abad ke 17, Belanda menguasai Pulau Tanah Iha dan mulai mengadakan perubahan-perubahan, khsusnya di bidang pemerintah setempat. Perubahan itu terjadi menurut kebiasaan Belanda pada waktu itu, yaitu nama Soa Honimua diubah menjadi Kota Honimua, namun Pulau Tanah Iha diganti menjadi Pulau Honimua, sehingga nama Pulau harus sama dengan nama Ibu Kota, misalnya Pulau Honimua, karena Ibu Kotanya bernama Honimua. Untuk memudahkan evaluasi dan registrasi jiwa, Belanda menggunakan nama-nama keluarga atau marga, dimulai dari Rumah Raja, sehingga Kesa-Aulia yang tadinya gelar untuk Latu, dijadikan nama keluarga atau marga begitu pula Saimima dan Atihuta, yang tadinya adalah gelar untuk fungsi tertentu dalam Pemerintahan Louhata, dijadikan nama keluarga atau marga. Dengan demikian maka Latu Kesa-Aulia Pattiluwa menjadi Pattiluwa Kesaulija. Belanda juga mengangkat Raja-Raja, Patih-Patih dan orang-orang kaya di Pulau Honimua.
     Pada tahun 1618, Pattiluwa diangkat menjadi patih di Elhau, Namun masyarakat Louhata tetap memanggilnya dengan sebutan Upu Latu. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pattiluwa sejak dulu telah mengenal Agama Kristen di pulau Seram. Namun Pattiluwa baru masuk Agama Kristen pada tanggal 2 Juli 1621 yang kemudian dibaptis dengan nama kecil dari nama Bapak seraninya Herman Van Speult maka nama lengkapnya Herman Pattiluwa Kesaulija, sedangkan sebutan Latu pada marga dihilangkan dengan alasan terlalu panjang disebut. Pada waktu itu penganut Agama Kristen meningkat menjadi 4/5, sedangkan yang 1/5 mempertahankan Agama Islam. Dan itu adalah sebagian besar Kelompok Pata lima.
     Pada waktu itu Belanda sangat takut pada orang-orang yang berdiam di gunung-gunung, karena mereka sering menyerang Belanda secara tiba-tiba. Untuk memperudah pengawasan terhadap orang-orang yang berdiam di gunung itu, maka penguasa Belanda memerintahkan agar mereka turun dan mendiami daerah-daerah pantai, termasuk juga Patih Herman Kesaulija, serta masyarakat Louhata di Elhau.
     Namun pada Tahun 1638 barulah Patih Herman Kesaulija serta separuh dari masyarakat Louhata di Elhau turun ke Kota Honimua (dulunya Soa Honimua). Waktu itu Patih dari Elhau disebut Patih Honimua. Kemudian pada Tahun 1643, Vlaming penguasa Belanda memerintahkan agar seluruh orang yang berada di gunung, tanpa kecuali, untuk turun dan mendiami daerah pantai, sehingga masyarakat Louhata yang masih mendiami Elhau turun juga ke Kota Honimua.
    Beberapa keluarga Kristen dipindahkan ke Pia untuk menjaga dusun-dusun yang berbatasan antara petuanan Louhata dengan petuanan Tiouw, Porto, Kulur. Ada juga beberapa ke Taulehu dan Tia untuk mengawasi perbatasan petuanan Louhata dengan Tuhaha.
 ·         PUSAT PEMERINTAHAN LOUHATA DI KOTA HONIMUA
 
1.       Sejarah Perubahan Nama Pemukiman Masyarakat Louhata di Kota Honimua ke Siri-Sori     ( sekarang disebut Siri-Sori ).
     
     Pemerintahan Louhata di kota Honimua, diawali dengan kisah nama wilayah pemukiman Upu Latu di kota Honimua yang pada akhirnya pemukiman ini digunakan untuk seluruh rakyat. Di wilayah pemukiman Upu Latu dan keluarga serta kerabatnya di kota Honimua, terdapat satu kolam kecil yang berisi air yang bersumber dari batu karang. Air itu digunakan  khusus untuk air minum dapat digunakan juga untuk keperluan lain, asal saja jauh dari tempat tersebut dan juga digunakan sebagai tempat mandi Upu Latu, tapi tempat mandinya jauh dari tempat tersebut. Untuk menjamin kebersihan air tersebut, maka Upu Latu mengeluarkan larangan untuk mandi di tempat itu, yakni “mandi dilarang”. Pernyataan ini membuat Raja maupun masyarakat tidak berani mandi dikolam itu.
      Ada cerita  pada suatu ketika datanglah seorang laki-laki inggris yang berjalan menuju kolam air itu, rupanya ia mau mandi, tanpa ia sadari bahwa ada orang yang mengamat-amatinya sejak ia berjalan menuju kolam air itu. Tiba-tiba ia dengar teriakan “Sir”, langsung ia menoleh kea rah bunyi teriakan itu sambil mendengar lagi terikan yang tertuju kepadanya “Sorry”. Yang dimaksud oleh orang yang berteriak ialah memberitahukan orang inggris itu bahwa mandi dilarang di kolam air tersebut. Namun karena ia hanya mengetahui 2 kata dalam bahasa inggris maka hanya 2 kata itu saja yang ia teriakkan. Mulai dari saat itu nama untuk kolam air tersebut adalah Siri-Sori sesuai ucapan orang-orang setempat yang mengandung maksud “mandi dilarang”. Kemudian kata Siri-Sori digunakan untuk nama tempat pemukiman disekitar kolam air tersebut dan kemudian lagi untuk seluruh negeri yaitu negeri Siri-Sori.
      Pada pemerintahan pemerintah Belanda pada permulaan abad ke 17, Honimua yang menjadi ibu kota daerah kekuasaan dipindahkan oleh Belanda ke Saparua, karena itu nama pulau diganti dengan nama Saparua. Sejak saat itu seluruh wilayah Honimua dari Waenahia sampai dengan nam Umekonno dijadikan sebagai pusat pemerintahan Louhata yang disebut dengan nama “Siri-Sori”.
     Masyarakat Louhata merupakan satu kesatuan kekerabatan (geneologis) berdasarkan atas persamaan asal, yang terbentuk pada akhir abad ke 15 di Soa Honimua. Dari sinilah terbentuk persekutuan kekerabatan yang dimulai dari mata rumah, atau dalam bahasa tanah disebut Teung atau Rumah Tau. Tau artinya sempe besar, yaitu satu tempat makan, jadi Rumah Tau adalah satu rumah atau satu keturunan. Tiap Rumah Tau dikepalai oleh seorang yang tertua dalam Rumah dan disebut Upu, yang berarti yang tertua. Dengan adanya perkembangan dan perubahan keadaan, maka beberapa Rumah Tau bergabung menjadi satu dan seterusnya menjadi Soa. Soa dimaksud berkembang menjadi beberapa Soa yang akhirnya menjadi satu Hena atau Negeri. Setiap Rumah Tau atau Mata Rumah mempunyai Hak tertentu dalam Pemerintahan maupun masyarakat. Misalnya, hak untuk dipilih menjadi kepala Hena yang disebut Upu Latu. Upu Latu berarti kepala dari Upu-Upu. Syarat terpilih itu ialah dari lingkungan anggota Mata Rumah tertentu saja. Kecuali apabila Mata Rumah itu sudah lenyap, baru boleh dipilih dari Mata Rumah lain. Hal ini berlaku juga untuk pemilihan kepala dari satu Soa. Demikian juga untuk pemilihan kepala kewang, yaitu semacam Polisi Hutan atau Polisi Pantai.
     Untuk menentukan siapa yang akan menduduki jabatan-jabatan tersebut tadi, diadakan pemilihan secara demokratis. Calon-calon yang boleh dipilih hanya dari antara kepala-kepala Mata Rumah saja. Sistem ini disebut system demokrasi kekerabatan dengan demikian maka pemerintahan Louhata di zaman Patih Honimua. Herman Pattiluwa Kesaulija mempunyai 6 Soa, yaitu:
1.       Soa Siatuna, Kepala Soanya Patih Honimua, Herman Pattiluwa Kesaulija
2.       Soa Sopaheluwakan, Kepala Soanya Inas Tuahule
3.       Soa Samahu, Kepala Soanya Pelopessy
4.       Soa Sopalatu, Kepala Soanya Saimima
5.       Soa Paywaka, Kepala Soanya Hualo Latupau
6.       Soa Suhala, Kepala Soanya Salatalohy Taryhula
Soa-Soa dimaksud kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok, masing-masing:
1.       Soa Siatuna, Samahu dan Paywaka
2.       Soa Sopaheluwakan, Sopulatu, dan Suhala dengan nama Soa Peletoo.
               
  •            Pemerintahan Raja-Raja Pada Masyarakat Louhata Di Zaman Pemerintahan Belanda.

               
         Pada permulaan abad ke 17, Belanda menguasai pulau tanah Iha dan mulai mengadakan perubahan-perubahan, khususnya di bidang pemerintahan setempat. Perubahan terutama pada bidang pemerintahan, nama Soa Honimua menjadi Kota Honimua. Untuk memudahkan evaluasi dan registrasi jiwa, Belanda menggunakan nama-nama keluarga atau marga, di mulai dari rumah Raja sehingga  Kesa-Aulija yang tadinya gelar untuk Latu. Dijadikan gelar untuk fungsi tertentu dalam Pemerintahan Louhata, demikian juga nama-nama keluarga yang lain. Demikian juga, maka Latu Kesa-Aulia Pattiluwa menjadi Pattiluwa Kesaulija.
        Pada tahun 1618 Belanda telah mengangkat Raja-Raja Patih-Patih dan orang-orang kaya di pulau Honimua. Pattiluwa Kesaulija diangkat menjadi Patti di Elhau, namun masyarakat Louhata tetap memanggilnya dengan sebutan Upu Latu. Pattiluwa baru menjadi Kristen pada 2 juli 1621, dan dibaptis dengan nama baptisan Herman. Ini sesuai dengan nama kecil dari nama bapak baptisnya yakni Gubernur Belanda, Herman Van Speult. Jadi nama lengkapnya menjadi Herman Pattiluwa Kesaulija.
        Pada waktu itu Belanda sangat takut pada orang-orang yang berdiam di gunung-gunung, karena mereka sering menyerang Belanda secara tiba-tiba. Untuk mempermudah pengawasan terhadap orang-orang yang berdiam di gunung itu, maka penguasa Belanda memerintahkan agar mereka turun dan mendiami daerah-daerah pantai, termasuk juga termasuk juga Patih Herman Pattiluwa Kesaulija, serta masyarakat Louhata di Elhau. Namun pada tahun 1638 barulah Patih Herman Kesaulija serta separuh dari masyarakat Louhata di Elhau turun ke Kota Honimua (dulunya Soa Honimua). Waktu itu Patih dari Elhau disebut Patih Honimua, yang berarti Patih dari Honimua.
           Kemudian pada tahun 1643, Vlaming penguasa Belanda , memerintahkan agar semua orang yang berada di gunung tanpa terkecuali untuk turun dan mendiami daerah pantai, sehingga masyarakat Louhata yang masih mendiami Elhau turun juga ke Kota Honimua. Beberapa keluarga yang beragama Kristen dipindahkan ke Pia untuk menjaga dusun-dusun yang berbatasan antara petuanan Louhata dengan petuanan Tiouw, Porto, dan Kulur. Ada juga beberapa ke Taulehu dan ke Tia untuk mengawasi perbatasan antara petuanan Louhata dengan Petuanan Tuhaha.
         Pada tahun 1647, ketika Herman Pattiluwa Kesaulija meninggal, digantikan adiknya Mahubessy menjadi patih Honimua. Mahubessy memeluk agama Islam dan kemudian kembali ke Kristen dan diakui nama baptisnya Daniel Mahubessy Kesaulija oleh masayarakat Louhata yang beragama Islamia di gelar Kese Uliyono yang artinya buang sorban. pada saat itu mereka berusaha untuk memperoleh penguasa Louhata yang beragama Islam sehingga sering timbul percecokan dengan mereka yang beragama Kristen. anak anak Daniel Mahubessy Kesaulija  ada yang beragama Islam dan yang beragama Kristen
 Kemudian pada tahun 1650, anak dari Herman Pattiluwa Kesaulija, menggantikan pamannya Mahubessy, yakni Manuel Taranate Kesaulija dan pada Tahun 1654 diwilayah Kota Honimua dibangun sebuah benteng oleh belanda dengan nama Hollandia. Pada Tahun 1669, seorang cucu dari Pattinaya dan cicit dari Tomanunuwe, diangkat menjadi patih Honimua, menggantikan Manuel Taranate Kesaulija. Namun Karena dia masih di bawah umur, maka untuk sementara diwakili oleh Fransisco Molle.
         Pada tahun 1692 masyarakat Louhata di Honimua di pimpin oleh patih yakni Jacob Salawane Kesaulija anak dari Mahubessy. Kemudian Jacob Salawane Kesaulija diganti oleh Gerrit Jacobs Kesaulija. Pada tanggal 19 Agustus 1704 karena Gerrit Jacobs Kesaulija sakit, sarafnya terganggu, maka pemerintahan Louhata diwakili oleh Kepala Soa nomor dua, yaitu Hendrik Putilaka dan secara resmi Gerrit Jacob Kesaulija diberhentikan secara resmi tanggal 30 September 1705.
        Kemudian pada tahun 1712 Paulus Kulipa Kesaulija menjadi Patih Honimua dan di tanggal 6 September 1712, Paulus Kulipa Kesaulija diberhentikan secara resmi dan diganti oleh Fransisco Bakar Kesaulija dan menjadi Patih Honimua sampai dengan tahun 1735, kemudian digantikan oleh                      Jacob Bakar Kesaulija.     
            Pada pemerintahan Jacob Bakar Kesaulija, nama pusat pemerintahan masyarakat Louhata diubah menjadi tanah Siri Sori. Dengan demikian seluruh tanah Honimua yang dikuasai oleh pemerintahan Louhata sejak Zama Latu Lima termasuk seluruh wilayah Honimua dari Waenahia sampai dengan Umekonno disebut Siri Sori dan mempunyai batas-batas sebagai berikut:

1.       Sebelah Utara dengan Laut Seram
2.       Sebelah Timur dengan Negeri Tuhaha dan Negeri Ulath
3.       Sebelah Selatan dengan Laut Banda
4.       Sebelah Barat dengan Negeri Tiouw, Negeri Porto, dan Negeri Kulur
Sejak saat itu sebutan Honimua sudah tidak digunakan lagi dan sebutan untuk Patih dari Patih Honimua menjadi Patih Siri Sori dan yang menjadi Patih ialah Jacob Bakar Kesaulija. Pada tanggal 12 November 1745 dan digantikan oleh Salomom Kesaulija. Pada waktu itu tanah Siri Sori di kuasai oleh Penjajah Belanda yang juga datang menyebarkan agama Kristen. Pada saat Pemerintahan Belanda, masyarakat Louhata banyak orang yang telah menjadi Kristen, namun ada sebagian kecil masyarakat Louhata yang masih memeluk agama Islam.
           Perbedaan agama ini sering menimbulkan percecokan antara masyarakat Louhata yang beragama Islam dan Masyarakat Louhata yang beragama Kristen, maka oleh Pemerintah Belanda di tahun 1717 diadakan pembagian pemukiman antara masyarakat Louhata yang beragama Islam dan masyarakat Louhata yang beragama Kristen. Yang beragama Islam di bagian selatan dan yang beragama Kristen di bagian barat petuanan Louhata.
             Kemudian pada tahun 1750 masyarakat Louhata yang beragama Islam memohon kepada penguasa Belanda di Kota Saparua untuk memiliki Pemerintahan sendiri. Oleh Belanda permohonan tersebut diteruskan ke Ambon, dan mula-mula ditolak. Namun pada tanggal 20 Maret 1770, oleh masyarakat Louhata yang beragama Islam diusulkan lagi untuk memiliki pemerintahan sendiri. Hal ini disetujui oleh Residen Saparua, dengan persyaratan bahwa pemerintahan Siri Sori Islam tetap dibawah kekuasaan Raja yang berdomisili di Siri Sori Kristen yakni Siri Sori Amalatu hingga sekarang. Jadi pemerintahan masyarakat Louhata yang beragama Islam hanya dibawah kekuasaan seorang Patih (pembantu dalam arti memimpin masyarakat Louhata yang beragama Islam). Raja yang memerintah waktu itu pada masyarakat yang beragama Kristen adalah Louis Hermanus Kesaulija. Sedangkan patih pertama yang diangkat oleh Belanda memerintah pada masyarakat Louhata yang beragama Islam adalah Adam Patty ( dari mata rumah Kesaulija) selaku orang kaya. Sekalipun berada dibawah kekuasaan Raja yang beragama Kristen, tetapi oleh masyarakat Louhata yang beragama Islam memberi gelar kepada Adam Patty adalah “Patih Sahu Siwa” (yang berarti patih lompat sembilan

 yang kemudian gelar tersebut menjadi marga) yaitu “Pattisahusiwa
  • Siri Sori Dari Tahun 1767 – Tahun 1838  
        Pemerintahan Negeri Siri Sori di Tahun 1767 – 1817

           Pada tanggal 17 Oktober 1767, dibawah pimpinan Louis Hermanus Kesaulija, mulai digunakan gelar  Raja. Setelah memerintah 26 tahun pada tanggal 17 Mei 1793, Louis Hermanus Kesaulija minta diberhentikan dan diganti oleh anaknya Salomon Kesaulija di tahun 1803 di lakukan sensus penduduk. Adapun hasil sensus penduduk, menetapkan di Siri Sori terdapat 6 Soa ( Mata Rumah) yaitu:
1.       Soa Namaulow, dengan Kepala Soa ialah Matauseja
Yang membawahi marga: Kesaulija, Matauseja, Sanaky, Hitipeuw, Pelamonia, Hatusupiy, Lastuniy, Leleulija, Atihutta, Liklikwatil Lelenusja, Sopacua, Saimima, Hatumese, (Tatusatunewa) Hatumasi, Paliyama Latuhusen Latuwasan, Patty, Sapulete, Leleuly
2.       Soa Samasuru (Samasulu), dengan Kepala Soa ialah Sopaheluwakan
Yang membawahi marga: Sopaheluwakan, Sahupala, Sopamena, Sasabone, Holle, Tulaiha, Pulumahuny, Hatumole, Watiheluw, Hatitaeta, Uktolseja,
3.       Soa Hawony, dengan Kepala Soa ialah Pelupessy
Yang membawahi marga: Pelupessy, Tehupaly ( Tuhepaly)
4.       Soa Titasomi, dengan Kepala Soa ialah Saimima
Yang membawahi marga: Saimima, Namasinapesiy, Tutuhatunewa, Siahaiselan, (Hatulilipessy) italilpessy.
5.       Soa Peileiy (Pelay), dengan Kepala Soa Palinussa
Yang membawahi marga: Palinussa (Parinussa) Mollehuwaiy, Huwal, Hahulimalene, Pelamahuni (Pulumahuny), Titauliy
6.       Soa Peiluhu (Sulehu), dengan Kepala Soa ialah Matahelumual
Yang membawahi marga: Matahelumual, Silahoiy, Ahuluheluw Sapurisa, Louhatapessy (Louhala), Sapulette.
Soa Namaulow yang masuk Keluarga Islam: Sopaheluwakan, Pelupessy, Sopamena, Watiheluw, Holle, Sahupala, Latupatty, Tuhupatty, Masahelupikal, Toisuta, Tuanahkota, Saimima, Kaplale, Rihaloulata (Pikalouhata), Sanaky, Matauseija, Sahulesy

Raja Salomon Kesaulija diberhentikan pada tanggal 22 Oktober 1804 dan di tahun 1805, diganti oleh anaknya Johanes Salomon Kesaulija semula adalah Patih di Ihamahu yang memerintah dari tahun 1795 – tahun 1805. Kemudian tahun 1805 Johanes Salomon Kesaulija diangkat menjadi Raja di Siri Sori dan memerintah selama 12     tahun. Pada waktu pemerintahan Johanes Salomon Kesaulija di Siri Sori, yang menjadi Patih adalah Sarasa Sanaky dalam status sebagi orang kaya pada masyarakat Louhata yang beragama Islam.      


  • Siri Sori di Tahun 1817 – 1838
       Di zaman pemerintahan Raja Johanes Salomon Kesaulija di Siri Sori, Raja mendengar bahwa di pulau Saparua akan timbul pemberontakkan yang di pimpin oleh Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura).           Raja Johanes Salomon Kesaulija segera segera berangkat ke Ambon dengan menggunakan arombai untuk memberitahukan kepada penguasa-penguasa Belanda tentang apa yang akan terjadi di pulau Saparua. Namun setelah tiba di Ambon, ia tidak mendapat imbalan terhadap jasanya itu melainkan ia di tangkap oleh Belanda dan dimasukkan ke dalam penjara. Sedangkan orang-orang yang mendayung arombai tidak berani kembali ke Siri Sori. Mereka takut dibunuh oleh pengikut-pengikut Thomas Matulessy              (Kapitan Pattimura). Mereka yang takut pulang itu antara lain: Sarimanela di passo dan Matahelumual di Waai, dll.
        Karena terjadi kekosongan pemerintahan di Siri Sori, dengan perginya Raja Johanes Salomon Kesaulija di Ambon dan ditangkap di sana, maka Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) sebagai panglima tertinggi di Siri Sori mengangkat Sarasa Sanaky dari orang kaya menjadi Patih atas masyarakat Louhata yang beragama Islam dan Melchior Kesaulija (Kapitan Pattisaha) sebagai Raja Siri Sori. Di samping itu Melchior Kesaulija juga menjadi pemimpin pasukan untuk menyerbu Haruku yang telah di duduki dan dikuasai oleh Belanda. Melchior Kesaulija juga adalah orang ke 2 setelah Kapitan Pattimura yang memanjat tembok menyerbu masuk ke dalam benteng “Duurstede”, pada tanggal 15 Mei 1817.
       Ketika Raja Siri Sori Melchior Kesaulija (Kapitan Pattisaha), ditangkap Belanda dalam pertempuran di Saparua dan kena hukuman gantung pada tanggal 16 desember 1817, bersama-sama dengan Thomas Matulessy, Philip Latumahina, Anthonie Rhebok. Melchior Patisaha Kesaulija mempunyai kakak perempuan yang bernama Naomi Kesaulija. Naomi Kesaulija menikah dengan Marcus Jacob Manusama, Patih dari negeri Abubu. Anak mereka adalah Johannes Marcus Manusama, yang menjadi Patih di negeri Abubu sejak tahun 1803, mengganti ayahnya. Johannes Marcus Manusama juga mendapat warisan ibunya di negeri Siri Sori. Karena warisan ibunya, Johannes Marcus Manusama baru diangkat menjadi Raja Siri Sori pada tanggal 27 Pebruari 1818.
        Berdasarkan Surat Keputusan Generaal Majoor Gouvermeur der Molukken de Kock No. 389 tertanggal 22 Mei 1818, belanda juga mengangkat Robo Pattisahusiwa menjadi orang kaya atas masyarakat Louhata yang beragama Islam. Namun tetap di bawah penguasa  Raja yang beragama Kristen yakni Raja Johannes Marcus Manusama. Robo diberhentikan di tahun 1830 dan pindah berdomisili di Hila.
        Pada waktu kunjungan Gouverneur Baron van der Capellen di Ambon di tahun 1824 untuk menandatangani Staatsblad No. 19A tahun 1824 tentang:
Pengangkatan Raja , Patih, dan Orang kaya. Di saat itu untuk ke dua kalinya masyarakat Louhata yang beragama Islam memohon kepada pemerintah Belanda, untuk dapat memiliki pemerintahan sendiri. Namun permintaan tidak ditanggapi oleh Belanda sampai tahun 1838. Pada tahun 1838 barulah pemerintah Belanda membagi Siri Sori secara administrative dipecah menjadi:
1.       Siri Sori islam dan Siri Sori Serani. Siri Sori Islam dengan masyarakatnya desebut Louhata Ama Patih, artinya masyarakat yang di pimpin oleh seorang Patih.
2.       Siri Sori Serani dengan masyarakatnya disebut Louhata Ama Latu, artinya, masyarakat yang dipimpin oleh seorang Latu (Raja)
Louhata Ama Patih adalah kelompok Pata Lima dengan Rumah Baeleonya di atas tanah. Sedangkan Louhata Ama Latu adalah kelompok Patasiwa dengan Rumah Baeleonya di atas Sembilan tiang, sedangkan batu pamalinya harus terletak di antara pintu kecil Baeleo dan menghadapi gunung. Yang bertugas mengikat paramasang Baileo adalah marga Kesaulija dan Sopamena, dan yang menutup bumbungan Baileo ialah Matahelumual karena Teungnya Lekutu. Pemeliharaan dan penjagaan terhadap Batu Pamali adalah Tugas dari Mata Rumah Sopaheluwakan, pantangan bagi seorang perempuan apabila ia menikah dengan seorang pria dari mata rumah sopaheluwakan jika ia melewati batu pamali tersebut ia harus menutup kepalanya jika tidak maka rambutnya akan gugur. Pada kelompok Pata Siwa upacara adat dilaksanakan pada hari selasa dan jumat sedangkan Pata lima pada hari rabu dan sabtu.

Batu Pamali


 ·         Pertempuran Kapitan Pattimura dan teman-teman (Kapitan Pattisaha) melawan Belanda

       Pada tanggal 18 Mei 1817 Raja Johannes Salomon Kesaulija dikeluarkan dari penjara I Ambon dan diharuskan ikut dengan pasukan perang Belanda yang berangkat ke Saparua dengan arombai, di bawah pimpinan penguasa Belanda yakni Majoor Beetjes. Pasukan perang Belanda ini tiba di Saparua tanggal 20 Mei 1817 dan mendarat di pantai Waisisil. Kemudian terjadi pertempuran dan Majoor Beetjes tertembak dalm arombainya oleh Kapitan Pattimura.
      Raja Johannes Salomon Kesaulija menembak Kapitan Pattimura tepat mengenai dadanya, namun peluru tidak menembus dada, tetapi jatuh di atas tanah. Kapitan Pattimura membalas tembakan Raja Johannes Salomon Kesaulija , tepat kena dada Raja dan gugurlah Raja saat itu juga. Jenazah Raja dibawa ke Siri Sori dan dimakamkan di depan Gereja (bersama anaknya)
     Kemudian pada bulan Agustus 1817, pasukan Belanda mendarat di Saparua, dengan menggunakan kapal-kapal perang Belanda menyerang Pulau Saparua dengan peluru-peluru meriam. Pasukan Pattimura dan temannya memberi perlawanan terhadap kekuatan penyerangan Belanda. Namun karena pengkhianatan oleh Raja negeri Booi, maka pasukan Belanda dapat menaklukkan perlawanan. Pada tanggal 11-13 November 1817. Thomas Matulessy, Anthonie Rhebok dan Patih Tiouw di tangkap. Hari berikutnya ditangkap Philip Latumahina, kamudian tanggal 15 November 1817, pemerintah Belanda mengeluarkan surat Keputusan No 90. Menyerahkan Thomas Matulessy, Anthonie Rhebok, Philip Latumahina dan Melchior Kesaulija ke hadapan Pengadilan Belanda di Ambon dan dihukum mati di tiang gantung pada tanggal 16 Desember 1817.
SIRI SORI AMALATU TAHUN 1970-AN


  •          Bangunan Gereja Negeri Siri Sori Serani “LOUHATA DAMAI”






Gereja pertama dibangun pada tahun 1694, dan pengerjaan tahap kedua Gereja, tahun 1814 dan barulah selesai pada tanggal 22 november 1815 dan ditahbiskan oleh Pendeta Josef Kaam atau yang dikenal dengan nama Rasul Maluku


Galeri Panas Gandong: 


penyambutan gandong dari Tamilouw dan Hutumuri


cakalele penyambutan 

Para Ina melantunkan Suat Kapata (nyanyian adat) di depan baileo Siri Sori Serani